Elsa, Cinta, & Perubahannya

By : @ChoWirfania

🔹🔹🔹

Elsa melangkah terburu-buru menyusuri koridor kampus mengejar seorang pria yang sedang berjalan di sana. Ia nyaris tersandung kakinya sendiri namun keseimbangannya kali ini membuatnya beruntung tidak terjerembab di lantai.

“Els!” seru seseorang. Elsa mengenali itu, suara Nita sahabatnya tapi Elsa mengabaikannya.

Elsa langsung menghadang langkah pria yang dikejarnya ketika sudah mencapainya, meski terengah ia mencoba untuk tersenyum. Menatap pria itu selalu menjadi kebutuhan pokok yang harus Elsa penuhi untuk membuatnya semangat mengawali hari. Hal rutin yang selalu ia lakukan selama tiga bulan terakhir.

“Hai, Kak Gery,” Elsa menyapanya, tetapi kening pria itu mengernyit seperti merasa terganggu Elsa menghadang jalannya. “Boleh aku menemanimu sampai kelas?”

Gery hanya mengangkat bahu, jujur merasa bosan dengan Elsa yang hampir setiap hari selalu mengintilinya. Ia sebenarnya ingin memprotes agar Elsa berhenti mengganggu dan tidak mengikutinya, tapi ia masih cukup sadar untuk tidak menyakiti perasaan orang apalagi itu perempuan. Elsa menyukainya—ia sudah tahu, bahkan gadis itu pernah menyatakannya meski waktu itu Gery tidak menanggapinya. Ia tidak suka jika perempuan mendekat lebih dulu, karena ia tipe pria yang lebih suka mengejar dari pada dikejar.

“Terserah kau saja,” jawab Gery, lalu melanjutkan langkahnya.

Elsa tersenyum sambil membetulkan kacamata tebalnya lalu buru-buru mengikuti Gery. Ia mengamati setiap langkah Gery dan lagi-lagi bibirnya membentuk senyum memuja, seolah semua hal dari gerakan pria itu terlihat indah di matanya.

Ketika mereka sampai di kelas Gery, pria itu berhenti lalu menoleh pada Elsa yang setia mengekorinya. Ia terdiam sejenak dengan pandangan seperti menimbang-nimbang.

“Els,” gumamnya, terlihat ragu. “Aku rasa mulai hari ini kau berhenti mengikutiku kemanapun. Jujur aku risih, aku tidak suka seseorang selalu mengintiliku.” Gery mengamati reaksi Elsa yang langsung membatu, rautnya seperti ingin menangis dan Gery tidak suka melihat perempuan di situasi seperti itu. Tapi ia memang harus mengatakannya. “Maaf kalau menyakitimu, tapi lebih baik kau melakukan sesuatu yang lebih berguna untuk dirimu dari pada kau hanya mengekoriku. Berhenti menggangguku, Els.”

Elsa tertegun, wajahnya memerah.

“Aku harus masuk kelas,” lanjut Gery, “dan sekali lagi… maaf.” lalu pria itu berbalik dan menghilang di balik pintu.

Elsa masih terdiam di tempatnya, tetapi kemudian cukup sadar untuk segera pergi sebelum ia menangis di depan orang. Kakinya serasa berat ketika melangkah, dengan pandangan meremang dan wajah tercengang-cengang ia masih bisa melihat Nita menunggunya di koridor ujung sana.

Entah bagaimana hatinya terasa begitu perih. Ia sudah sering menerima sikap dingin Gery bahkan penolakannya, tapi bukan berarti dengan begitu ia jadi terbiasa. Meski kali ini berbeda dari yang sudah-sudah. Kalau biasanya ia masih sabar dan terus mencoba, namun anehnya sekarang kesabaran itu seperti memberontak, harga dirinya berjengit, dan rasa sakit dua kali lipat menerjangnya tinggi hingga kemudian menggulung-gulungnya.

Langkah Elsa semakin cepat hingga kemudian ia berlari.

Berhenti menggangguku, Els.

Elsa langsung memeluk Nita dan mengisak di bahunya, mengabaikan pandangan orang-orang lalu lalang yang menatapnya heran dan tak mengerti.

“Nita…” isaknya, tersendat-sendat oleh tangisnya.

“Dia menolakmu lagi?” Nita langsung memahami.

Elsa hanya bisa mengangguk, bukan hanya menolak, Gery kali ini mengusirku, Elsa ingin mengatakan itu tapi kesulitan. Gery mengusirnya meski pria itu memintanya dengan baik. Elsa bisa merasakan Nita mengusap-usap punggungnya seperti mencoba menenangkannya.

“Pulang kampus nanti, ikutlah bersamaku,” kata Nita penuh tekad.

🔹🔹🔹

“Apa yang kau lakukan? Aku tidak mau memakai itu!” Elsa menggeleng keras-keras ketika Nita menarik kacamatanya lalu menyodorkan sebuah kontak lensa. Mereka sedang berada di rumah Nita, dengan paksaan dari sahabatnya itu Elsa sambil bersungut-sungut mengikutinya, berdiam kesal ketika Nita meremaknya, memoles sana-sini, seolah ia boneka barbie. “Kau pikir apa yang kau lakukan ini? Kembalikan kacamataku!” Elsa hendak meraih kacamatanya tetapi Nita lebih dulu menjauhkannya.

“Kau tidak perlu berkacamata lagi,” sergah Nita. Ia memasukkan kacamata Elsa dan memenjaranya di dalam laci. “Dengarkan aku kali ini, Els, kau harus berubah kalau kau ingin Gery menatapmu. Kau harus merubah penampilan dan jangan lagi ada ekor kuda.” Nita menarik karet rambut Elsa dan membiarkan rambut itu tergerai.

“Sakit!” pekik Elsa, mengusap kepalanya. “Memangnya kenapa dengan penampilanku? Jelek?” Elsa menunduk memperhatikan dirinya, dress hitam selutut dan ia merasa jadi menjulang tinggi dengan wedges yang membalut kakinya hasil paksaan dari Nita. Apa bedanya dengan rok sepan dan kemeja warna telur asin yang biasa ia pakai setiap hari? Yang penting ia memakai baju dan tidak telanjang.

“Sebenarnya bukan jelek, Els, hanya kurang menarik saja.” Nita menarik Elsa duduk di meja rias dan mendongakkan wajahnya, ia membuka kontak lensa yang diabaikan Elsa tadi.

“Ya ampun Nit…” keluh Elsa. “Kau ingin membuatku terlihat sekonyol apa?”

“Ini sama sekali tidak terlihat konyol. Buka matamu.” Nita menahan dagu Elsa agar tetap mendongak, “dan jangan bergerak-gerak,” ancamnya.

Elsa mendengus, menuruti meski bibirnya merengut sebal. Ia merasa Nita menempelkan sesuatu di bola matanya dan ia mengernyit tidak nyaman. “Awas saja kalau mataku iritasi dan aku jadi buta.”

Nita menjitak Elsa dengan gemas. “Itu baru pikiran konyol,” sergahnya.

Elsa meringis tapi kemudian ia mengerjap-ngerjap membiasakan dengan sesuatu yang menempel di matanya.

“Biasakan dulu, nanti pasti akan nyaman,” saran Nita.

Mula-mula Elsa mengeluh frustasi dan nyaris membukanya lagi, namun pandangannya kali ini mulai terang dan jelas tanpa kacamata tebalnya, seolah adalah hal baru baginya bisa melihat tanpa kacamata.

Nita tersenyum puas mengamati penampilan Elsa. “Sempurna,” gumamnya, bangga dengan hasil karyanya sendiri. “Aku harus membawamu ke mall untuk menambah koleksi-koleksimu.” dan tentunya akan mengubur semua baju-baju kumel Elsa agar gadis itu tidak meliriknya lalu memutuskan memakainya lagi, pikir Nita.

“Sekarang kau dengarkan aku baik-baik, Els,” lanjut Nita. “berhenti mendekati Gery, tenggelamkan dulu perasaanmu jauh-jauh, beri kesempatan Gery untuk merasa menyesal karena sudah begitu sering menolakmu.” Nita berkata seperti seorang ibu menasehati anaknya. “Kalau berpapasan dengan Gery, anggap kau tidak pernah menyukainya. Dan jadilah gadis manis yang anggun, mahal, tapi penuh kebaikan.”

Elsa termenung beberapa saat, mendengarkan kata-kata Nita sekaligus membayangkannya. Bisakah ia mengabaikan Gery dan menganggap tidak pernah mencintainya?

“Aku tidak yakin bisa.. ” keluh Elsa akhirnya. Perasaannya pada Gery cukup membara bahkan sering menyesakinya. Bagaimana caranya ia harus berlagak seolah tidak mencintainya?

“Kau belum mencobanya,” protes Nita. “Dan mulai besok aku mau kau melakukannya. Aku akan mengawasimu. Kalau kau tidak menurutiku—” Nita memutar bola matanya mencari ancaman yang ampuh. “—aku tidak mau mengenalmu lagi dan tidak mau menjadi sahabatmu.”

Elsa merengut kesal. “Ancaman macam apa itu?”

“Pokoknya kau ingat kata-kataku dan kau harus menerapkannya. Dan jangan lupa—” Nita mengacungkan jari telunjuknya di depan hidung Elsa, mengancamnya. “—jangan coba-coba kembali pada penampilanmu yang cupu lagi. Lain kali aku akan membuatkanmu daftar untuk memadukan pakaianmu ketika akan berangkat ke kampus.”

Elsa mendesah dalam-dalam, menggeleng-geleng tidak habis pikir. “Sepertinya kau sedang kesurupan,” sinisnya, yang hanya ditanggapi Nita dengan tidak peduli.

🔹🔹🔹

Keesokan paginya, sulit bagi Elsa berdebat dengan bagian dirinya yang merasa tidak nyaman dengan aturan berpakaian dari Nita dan nyaris meraih rok sepan kesukaannya—kalau tidak terbayang wajah garang Nita yang menjelma di benaknya. Maka inilah yang dipakainya sekarang, dress lagi, tapi kali ini warna biru dan sudah dipersiapkan Nita dari kemarin.

Elsa menyisir rambutnya sambil memutuskan apakah akan menggerainya atau lebih baik mengikat ekor kuda seperti biasanya.

Jangan lagi ada ekor kuda! Nita menjelma di cermin dan memelototinya.

Elsa mendesah lalu melemparkan kembali tali rambut yang tadi diraihnya. Ketika ia sudah sampai di teras rumah, Nita sudah menunggu di sana, tersenyum sumringah melihat Elsa tidak mengabaikan aturannya.

“Mempesona,” gumam Nita setelah Elsa berada di depannya. “dan jangan memasang tampang cemberut seperti itu.” Nita menarik pipi Elsa menyuruhnya tersenyum. Elsa semakin cemberut, menghentak-hentakkan kakinya saat Nita menyeretnya ke arah mobilnya. “Jangan berjalan seperti itu, wedgesmu akan cepat rusak.”

“Kau cerewet sekali,” dengus Elsa.

Pintu mobil Nita terbuka dan Elsa langsung masuk. Mudah-mudahan penampilan barunya ini tidak akan membuatnya jadi pusat perhatian orang.

Kampus sudah ramai ketika mereka sampai, rasa tidak percaya diri Elsa muncul dan tiba-tiba ia merasa ingin pulang saja lalu tidur di kamar. Nita mematikan mesin kemudian menghadapkan tubuhnya ke arah Elsa.

“Kau ingat yang kubilang kemarin? Jadilah gadis manis yang mempesona, abaikan Gery dan anggap kau tidak pernah menyukainya. Kau itu sebenarnya cantik, hanya saja selera fashionmu benar-benar kacau.”

Elsa mengernyit, “kalau aku malah jadi bahan tertawaan, aku tidak mau berpenampilan seperti ini lagi.”

Nita menepuk jidatnya sendiri seolah tidak habis pikir dengan jalan pikiran Elsa. “Tidak akan ada yang menertawakanmu, Els, penampilanmu rapi dan manis. Dressmu juga tidak pendek, jadi berhentilah mengada-ngada.” Nita mengabaikan raut merengut Elsa lalu membukakan pintunya dari dalam. “Ayo kita keluar, lima belas menit lagi pertemuanku dengan Mr. Benny.”

Ketika berjalan di koridor, Elsa menyadari apa yang ia khawatirkan benar-benar terjadi. Banyak yang memperhatikannya bahkan tiga orang pria yang berpapasan dengannya langsung menoleh dua kali, itu membuatnya tidak nyaman—jadi pusat perhatian adalah hal yang paling tidak disukainya. Ia bisa mendengar ada bisik-bisik di sekitarnya dan namanya disebut-sebut. Elsa jadi bertanya-tanya apa yang ada di pikiran mereka. Apakah dirinya justru terlihat seperti makhluk aneh yang kabur dari sirkus? Ia bahkan tidak yakin kalau dirinya terlihat mempesona seperti yang Nita bilang. Tiba-tiba Elsa merasa malu, meremas-remas tali tasnya dengan perasaan gugup.

“Elsa? Kau cantik sekali!” seru seorang pria yang berpapasan dengannya. Elsa menoleh, itu Rio—teman seangkatan dan Elsa sangat ingat, Rio tidak pernah bertegur sapa dengannya selama ini karena pria itu terlalu cuek terhadapnya.

Elsa tersenyum kikuk. “T—terima kasih,” jawabnya, kemudian berlalu pergi. Ia tahu Rio berhenti dan masih menatap ke arahnya. Elsa risih, lalu berubah sebal saat mendengar Nita cekikikan di sebelahnya.

“Pasang sikap elegan,” bisik Nita tiba-tiba. “ada Gery.”

Elsa seolah langsung siaga, bahkan hanya mendengar Nita menyebut nama itu debaran di dadanya sudah mendera-dera. Ia bisa melihat Gery di sana sedang mengobrol dengan dua orang temannya sebelum kemudian tatapan pria itu terpaku mengikuti langkahnya.

Gery melihatnya! batin Elsa berteriak. Ada desiran keras dalam darahnya menyadari tatapan Gery tak beralih darinya.

Abaikan Gery dan anggap kau tidak pernah menyukainya.

Kata-kata Nita terus terngiang seperti ingin menghantuinya. Elsa mencoba fokus pada jalannya, dan berusaha menganggap kalau yang di sana itu bukan Gery. Bagaimanapun kemarin Gery sudah mengusirnya dan berkata bahwa terganggu dengan kehadirannya. Mungkin Elsa memang harus melupakan Gery dan membunuh perasaannya. Itu hanya akan selalu bertepuk sebelah tangan dan mungkin Gery akan lebih bahagia kalau Elsa tidak lagi berusaha mengenalnya. Meski Elsa tahu itu akan sulit dan tidak semudah yang ia bayangkan, tapi ia yakin seiring waktu pasti akan terbiasa dan semua akan lebih mudah baginya.

Karena cinta itu tidak bisa dipaksakan, karena Elsa ingin cinta yang datang dari hati, bukan dari belas kasihan ataupun karena keindahan fisik semata.

Dan… memikirkan itu semua, membuat Elsa tidak menyadari sudah melewati Gery dan kini berbelok ke lorong menuju kelasnya.

“Wow, kau benar-benar oke,” komentar Nita dengan puas. “Aku bisa melihat reaksi Gery tadi berubah-ubah, awalnya seperti tidak mengenalimu, lalu terperangah, baru kemudian terlihat penasaran.”

Mereka berhenti di depan kelas Elsa.

“Aku berhasil,” gumam Elsa, merasa tidak percaya ia bisa mengabaikan Gery.

“Yeah,” Nita mengangguk mantap, lalu mengangkat jari jempolnya. “Kau berhasil. Dan aku ingin kau tahu bahwa aku melakukan ini padamu hanya untuk kebaikanmu. Aku tidak ingin kau selalu dipandang rendah oleh mereka. Dan lagi pula sekarang ini jamannya Kpop, bukan lagi jaman jadul untuk membuatmu buta fashion.”

Elsa hanya nyengir malu. Benar juga kata Nita, pikirnya, sudah saatnya ia maju dan tampil lebih baik.

Sudah saatnya ia fokus kuliah dan lupakan Gery.

🔹🔹🔹

Seminggu berlalu dan Elsa merasa hari-harinya memang berbeda dari yang dulu-dulu. Sekarang bahkan banyak pria yang mendekatinya, menatapnya seperti mereka menatap Erika—perempuan tercantik di kampus, meminta untuk mengenalnya bahkan ada yang terang-terangan bilang suka ataupun mengajaknya berkencan—di saat ia sudah memutuskan tidak ingin dekat dengan pria manapun dulu. Terlebih Nita selalu memberinya pelajaran, mengingatkannya ini-itu, memberi petuah—meski kadang dengan ancaman menyebalkannya untuk membuatnya lebih baik lagi. Elsa juga tidak lagi merasa kikuk dengan penampilannya, sudah bisa membiasakan diri menerima tatapan-tatapan penuh minat yang selalu didapatkannya. Meski Elsa tahu ada beberapa perempuan yang merasa terganggu dan tidak suka kepadanya, sekarang.

Elsa keluar dari kelasnya ketika jam pertamanya selesai. Nita sedang ujian, jadi otomatis sekarang ia sendirian menuju kantin. Dering ponsel di dalam tasnya mengejutkan Elsa, ia mengacak isi tasnya mencari-cari benda itu. Dan karena tidak fokus pada jalan, tanpa sengaja ia menyenggol seseorang lalu berlanjut pada suara buku yang berjatuhan.

Elsa langsung panik, refleks ia berjongkok membantu memungut buku-buku yang berserakan itu.

“Maaf, aku tidak sengaja,” ucapnya merasa tidak enak. “Aku tadi kurang hati-hati dan tidak me—” kata-kata Elsa menggantung ketika ia mendongak dan menyadari orang itu adalah Gery. Elsa langsung menyerahkan bukunya. “Maafkan aku,” katanya sekali lagi, buru-buru beranjak hendak berbalik pergi.

“Els?”

Elsa berhenti, tetapi tidak menoleh. Ia tahu Gery menatapnya dan sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak melirik wajah itu lagi.

Gery bahagia tanpa kau mengganggunya, Els, batinnya mengingatkan.

Elsa bergeming, sampai ia merasa Gery beranjak ke depannya untuk berhadapan dengannya. Namun Elsa masih menolak untuk mendongak ke wajah tampan itu, seolah takut melakukan kesalahan kemudian ia akan berdosa. Tidak ada alasan untuk mengacaukan hatinya kembali.

Gery mengernyit mendapati Elsa tidak mau menatapnya, ada perasaan sedih yang menyempil, dan detik-detik berlalu perasaan sedih itu semakin mendalam. Ia tahu Elsa sakit hati padanya dan mungkin marah lalu memutuskan membencinya. Dan Gery tidak heran kalau memang seperti itu kenyataannya. Tapi selama seminggu ini, ternyata tanpa sadar Gery sudah terbiasa dengan kehadiran Elsa yang selalu mengganggu dan merasa kosong ketika tidak ada gadis itu lagi yang mengekorinya. Bagaimana ia bisa merasakan seperti itu? Gery bahkan tidak mengerti apa yang ia mau dari Elsa. Bukan. Ini tidak ada hubungan dengan Elsa yang sekarang tampil cantik karena ia juga tidak mempermasalahkan Elsa dulu yang culun. Gery hanya merasa tidak suka jika perempuan mengejarnya. Dan sekarang, mendapati Elsa berbeda dan seolah menjauh darinya, ada dorongan dalam dirinya untuk mengejar. Karena memang seperti itulah yang benar, ia yang mengejar dan bukan sebaliknya.

“Apa kau akan pergi ke kantin?” akhirnya Gery bersuara setelah keheningan berlalu. Ia sebenarnya sudah tahu tujuan Elsa kemana.

Elsa mengangguk sekilas, masih tidak mau menatap Gery. “Ya,” jawabnya.

Gery mendesah pelan, “bolehkah aku menemanimu?”

Kali ini Elsa mengerut heran. “Kenapa?”

“Tidak bolehkah? Aku hanya ingin mengobrol denganmu.”

“Bukan,” Elsa menggeleng. “bukan tidak boleh. Hanya saja aku tidak mau kehadiranku mengganggumu.”

Gery tertegun, terdiam, dan Elsa pun diam.

“Kau marah padaku.” itu bukan pertanyaan. “Kau bahkan tidak mau menatapku, Els,” Gery tersenyum tipis, senyum lemah, dan kesedihan itu semakin terasa nyata. “Kurasa kau ingin menghukumku. Benar, kan? Dan sepertinya usahamu berhasil.”

Akhirnya Elsa mendongak menatap Gery yang menjulang di depannya. “Aku tidak marah pada siapapun, tidak ada alasan, dan aku tidak berhak menghukum orang dengan hal apapun.”

Gery mengangguk mengiyakan. “Kau benar, tidak ada alasan,” bisiknya, lalu rautnya berubah penuh ingin tahu. “Jadi—apa kau tidak akan kembali berusaha mengejarku?”

Elsa tersenyum sopan. “Kurasa tidak,” jawabnya. “Tidak akan lagi.”

Pancaran Gery seketika berubah penuh arti, penuh keseriusan.

“Kalau begitu… Elsa… biarkan kali ini aku yang mengejarmu.”

🔹

Cerpen ini hasil iseng, hasil dari tidak memiliki ide lagi 😀 Hampir sama dengan ff HLS (Hyun-Ra Loves Story) tapi ini versi cerita pendek.
Tapi semoga masih menghibur readers semua :*

1 thoughts on “Elsa, Cinta, & Perubahannya

  1. Mgkin sbnrny gery tu jg sk am elsa cm dy lom mnydari prasaanny aj. N stlh elsa mnjauh dy bru mulai mnyadari prsaanny sndri.
    Hehe tp q bca ny bukn gerry am elsa loh. Mgkin d cast ny gerry n elsa. Tp q bc ny kyuhyun n hyunra. Biar lbih ngefeel aj. Mklum udh tbiasa bc ny yg genre ny kpop sih.
    Revenge n love ny dtgu lohhhhh

Tinggalkan komentar